Jakarta, Kemendikbud
--- Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
mengamanatkan agar guru harus profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Bentuk nyata dari amanat tersebut adalah pemberian tunjangan profesi
guru (TPG) kepada guru yang telah tersertifikasi. Harapannya, dengan
pemberian TPG ini guru menjadi lebih profesional.
Namun sejak UU tersebut terbit, penilaian profesionalitas guru belum
dilakukan secara benar. TPG masih diberikan merata, yaitu sebesar satu
kali gaji tanpa mengukur profesionalisme sang guru. Seharusnya,
pemberian TPG harus sesuai dengan capaian kinerja dan prestasi guru.
Pelaksana Harian Kepala Subdirektorat Program Direktorat Pembinaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dikdas, Tagor Alamsyah mengatakan, saat
ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang menyusun
ulang skema pemberian TPG. Tunjangan yang sejak 2005 diberikan secara
merata, akan dihitung secara profesional dengan memperhitungkan prestasi
dan kinerja yang telah dicapai oleh guru.
“Selama ini kita belum menjalankan undang-undang dengan benar, karena
infrastruktur belum memadai. Dan sekarang kita siapkan secara paralel,
infrastruktur dan mekanisme pemberian tunjangannya,” kata Tagor dalam
diskusi pendidikan yang berlangsung di Perpustakaan Kemendikbud, Rabu
(24/06/2015).
Tagor mengatakan, instrumen pencapaian guru profesional bisa dilihat
dari jumlah ideal guru, pembinaan karir, dan penghargaan serta
perlindungan yang diberikan. Jumlah ideal guru dapat dihitung dengan
beban kerja 24 jam/minggu dan linieritas dengan sertifikasi. Untuk
pembinaan karir, guru harus memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi,
dan jenjang karir. Sebagai penghargaan dan perlindungan, guru akan
mendapatkan tunjangan profesi, maslahat tambahan, dan perlindungan
hukum.
Untuk mengukur kompetensi guru dihitung dengan penilaian kinerja guru
(PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi
guru (UKG). Salah satu skema yang disiapkan adalah dengan melakukan
tahapan uji kompetensi. Di awal tahun, guru akan dinilai kompetensinya
melalui UKG. Jika kompetensi yang dimiliki kurang, maka guru harus masuk
ke PKB. Setelah masuk PKB, kompetensi guru akan kembali diukur. Bagi
guru yang memiliki peningkatan akan dihargai dengan kenaikan jenjang
karir. Namun jika tidak, maka guru harus menyisihkan sebagian TPG yang
diperolehnya untuk melakukan peningkatan kompetensi.
Dalam skema Kemendikbud, pengembangan keprofesian berkelanjutan guru
dilakukan secara berjenjang. PKB Guru Pertama (golongan IIIa-IIIb) fokus
pada pengembangan diri sendiri, PKB Guru Muda (golongan IIIc-IIId)
fokus pada pengembangan siswa, PKB Guru Madya (Golongan IVa, IVb, IVc)
fokus pada pengembangan sekolah, dan PKB Guru Utama (Golongan IVd-IVe)
fokus pada pengembangan profesi.
Selain peningkatan kompetensi melalui PKB, Tagor juga menyinggung
keberadaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru
(KKG) yang bisa digunakan sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi
guru. Misalnya, salah satu kendala guru dalam mencapai angka kredit
adalah karena kesulitan membuat karya ilmiah/karya inovatif. Lewat KKG
atau MGMP, kata Tagor, guru bisa memanfaatkan TPG yang diperolehnya
untuk bersama-sama untuk meningkatkan kompetensi. “Mereka bisa urunan
untuk mendatangkan narasumber yang bisa membantu mereka dalam menyusun
karya ilmiah,” katanya.
Dengan pengukuran seperti ini, maka tunjangan guru bukan lagi menjadi
hak, melainkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh guru. Artinya,
dengan TPG yang diberikan tersebut guru harus mampu mengembangkan
kompetensi diri. Jika tidak, maka tunjangan tersebut akan dihentikan.
(Aline Rogeleonick)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar